Senin, 14 Januari 2008

Film Indonesia Miskin Nilai-Nilai



KRC,Jakarta

- Industri perfilman dan sinetron Indonesia yang tumbuh pesat dewasa ini harus ada filter, sehingga keberadaannya tidak merusak dan mengancam nilai-nilai positif dalam kehidupan masyarakat, terutama kalangan anak-anak dan generasi muda. Kebanyakan film dan sinetron kita tanpa arah, miskin pengembangan akal budi, sehingga sangat membahayakan.
Demikian akar persoalan yang terungkap dari perbincangan Kompas dengan sosiolog Imam B Prasodjo dan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, secara terpisah di Jakarta, Minggu (13/1). "Saya mencermati, film dan sinteron kita dewasa ini banyak tanpa arah. Namun bukan tidak ada yang berkualitas dan punya visi dan misi yang bagus," tandas Imam B Prasodjo.
Menurut dia, tumbuh-berkembangnya kreativitas pekerja seni harus didorong. Namun, kreativitas di industri perfilman dan sinetron jangan hanya sekadar motif menghibur. Mestinya, pada saat yang sama produk budaya tersebut harus mendorong energi positif. Bagaimana tayangan film/sinetron itu secara visual juga mengembangkan akal budi, bagaimana bisa mendorong kreativitas dan rasionalitas. Dan bagaimana tayangan film/sinetron itu bisa mendorong perkembangan emosional dan spiritual.
"Kenyataan, film dan sinetron yang tayang di layar kaca dan ditonton banyak keluarga cenderung mengeksploitasi hiburan, mempertontonkan kepura-puraan, emosi yang tidak terkendali, rasa takut, amarah dan sebagainya," kata Imam.
Ia melukiskan, soal visualisasi marah, misalnya. Setiap orang punya emosional untuk marah. Dalam film/sinetron hal itu dipertontonkan dengan tidak cerdas, karena yang kita saksikan akibat marah itu hanya kesemena-menaan, kemurkaan luar biasa, pukulan yang bertubi-tubi, sehingga lepas kendali. Artinya, dari suatu adegan yang marah-marah itu, penonton tidak mendapatkan nilai positif, bagaimana rasa amarah itu bisa dikendalikan dan tanpa merugikan, melukai, dan atau menyakiti.
Menurut Imam, film/sinetron yang dibuat bagaimana dapat mendorong penonton untuk menahan ketegangan-ketegangan. Keterangan memang suatu hiburan, tapi jangan ketegangan itu dieksploitasi, karena energi orang (penonton) akan habis. Apalagi tayangan anak-anak, dengan banyak mengeksploitasi ketegangan, energi anak-anak akan habis. Apalagi banyak tayangan yang mengarah pornoaksi, jika itu yang jadi orientasi, maka oleh anak-anak yang tanpa kontrol keluarga sempat menonton tayangan itu, maka yang terjadi adalah pelampiasan seks. Ini jelas tidak positif, sebaliknya berdampak negatif.
Sosiolog Iman Prasodjo berpendapat, film/sinetron yang diproduksi dan ditayangkan hendaknya yang berorientasi ke arah energi positif, mengembangkan akal budi, rasionalitas, pengembangan emosional dan spiritual, dan bagaimana menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. "Jika selama ini yang banyak diproduksi adalah kreativitas perut ke bawah, maka untuk melahirkan dan menumbuhkembangkan generasi muda yang berkualitas, produktif dan inovatif, yang banyak diproduksi semestinya kreativitas dari perut ke atas," tandasnya. (jj)

Tidak ada komentar: